Minggu, 05 Februari 2012



Terkadang media sosial bisa menjadi suatu alat subversif bagi sesuatu yang sudah sahih kebenarannya. Dimana puluhan bahkan ratusan otak yang berbeda tingkat kepahaman tentang sesuatunya berbeda, membicarakan satu hal yang bersifat filosofis. Seperti yang kita tau, hal filosofis itu sesuatu yang sangat sensitif bagi setiap orang yang ‘paham’. Namun, bagi orang yang belum mengerti, hal ini menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Hal ini tentu membuat seseorang terlihat bodoh bagi orang lain, dan bagi saya yang mempunyai pemahaman filosofis sendiri, tentu merasa orang itu memang bodoh. Namun ada kalanya dimana kita harus menerima pendapat orang lain mengingat demokratisasi itu dimulai dari diri sendiri. Dan diam adalah solusi terbaik bagi saya untuk mengurangi tersulutnya konflik. Namun, jika orang tersebut telah menyulut konflik terhadap saya, saya tetap diam, dan biarkan orang itu terlihat lebih bodoh. 
Diam memang pilihan terakhir dari setiap hal. Namun diam disini memiliki makna tersendiri bagi saya. Contoh saja cerita Zarathustra dalam buku Nietszhe. Dimana diam, bukan berarti bodoh, namun suatu momen dimana kita mencari kesendirian -bukan kesunyian- untuk lebih mencari kebenaran filosofis yang lebih hakiki. Bukan flsuf, tapi agar kita tidak sama terlihat bodoh. Mungkin bagi sebagian orang mencari sesuatu kebenaran yang hakiki itu bisa membuat terlihat bodoh dimata orang yang tidak mengerti. Tapi tak apa, karena kita memperjuangkan sesuatu yang kita anggap benar.

Hail, philosophy in our right!