Rabu, 22 Februari 2012

Kepada Yang Dulu Paling Merah

Ia tak pernah salah, kata-katanya selalu benar
Menyikapi keragu-raguan tanpa nanar
Di matanya. Ia memang seperti sebuah sinar
Yang menyinariku dikala mataku berbinar.

Serupa tawa yang menemaniku dalam telaga sunyi
Ia ada dalam ketiadaan, mendekapku dalam sepi
Tuhan adil, masalah tak pernah datang tanpa penyelesai
Yang sekarang kau beri dia untuk menemani.

Kala itu aku duduk dibawah pelukan malam
Tanpa senyum yang lebar, tak pernah membesar
Aku merenungi salah yang terlampau kasar
Menodai altar matamu yang setajam belati;
Menusukku dengan mesra dan lembut; seraya mengecup pipi.

Titik hitam di putih bola matamu, sama indahnya dengan senyuman
Memabukanku seperti arak yang menyeruak
Membuat oleng jalanku hanya dengan sekali lengkungan bibirmu
Yang kemudian aku buat pudar, dan luka mulai berpencar
Ke setiap relung hatimu secara tak sabar.

Nanti jika engkau menusukku kembali, aku tak akan gusar
Aku anggap semua sepadan dengan panah luka yang aku tancapkan
Tepat kedalam hati yang dulu berwarna merah; sekarang kelabu
Dadaku masih merindukan tawamu, tiada lain tawa yang menenangkanku
Selain engkau. Namun tak lagi akan datang
Tempatmu ada bersama malaikat-malaikat, bernyanyi riang dalam sayup tawa
Aku tak pernah pantas bersanding denganmu, yang bersayap malaikat
Dengan senyuman semanis Hawa.